walknesia.id – Sebanyak 31 mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dijatuhi sanksi skorsing setelah terlibat dalam aksi demonstrasi yang menyuarakan berbagai tuntutan terkait kebijakan dan fasilitas kampus. Keputusan tersebut memicu perdebatan di kalangan akademisi dan masyarakat, terutama terkait isu kebebasan berekspresi di lingkungan pendidikan.
Aksi demonstrasi yang diikuti para mahasiswa berlangsung damai, namun pihak universitas menilai bahwa kegiatan tersebut melanggar aturan internal yang mengatur tata tertib aksi di kampus. Dengan alasan menjaga ketertiban dan keberlanjutan proses belajar-mengajar, pihak kampus memutuskan untuk memberikan sanksi skorsing kepada para peserta aksi. Meskipun demikian, sanksi ini dianggap oleh banyak pihak sebagai tindakan yang berlebihan, yang dapat mengancam kebebasan mahasiswa dalam menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka.
Tidak terima dengan keputusan ini, para mahasiswa yang diskors melaporkan situasi tersebut kepada Wakil Presiden Republik Indonesia. Mereka berharap bahwa Mas Wapres, panggilan akrab Wakil Presiden, dapat menjadi mediator dalam persoalan ini dan memberikan perhatian untuk menegakkan keadilan. Permohonan ini bertujuan untuk memastikan bahwa hak-hak mahasiswa untuk berekspresi dan berdiskusi secara kritis tetap terjamin, serta agar keputusan skorsing ditinjau kembali.
Kritik atas tindakan skorsing ini juga datang dari berbagai organisasi mahasiswa dan pemerhati pendidikan. Mereka menilai bahwa sanksi tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan akademik, di mana kampus seharusnya menjadi tempat yang mendorong diskusi dan pemikiran kritis. Kebebasan berekspresi dianggap sebagai bagian integral dari lingkungan akademik yang sehat, yang memungkinkan mahasiswa untuk berkembang dan berkontribusi secara konstruktif dalam masyarakat.
Pihak UIN Makassar, melalui pernyataan resminya, menyatakan bahwa keputusan skorsing telah melalui proses pertimbangan yang sesuai dengan peraturan kampus. Mereka mengklaim bahwa tindakan ini diambil untuk menghindari tindakan serupa di masa depan yang berpotensi mengganggu aktivitas akademik. Meski demikian, universitas juga menekankan kesediaannya untuk berdialog dengan mahasiswa dan mencari solusi yang lebih baik agar situasi ini dapat diselesaikan tanpa menimbulkan kerugian lebih lanjut.
Pengamat pendidikan berpendapat bahwa mediasi antara pihak universitas dan mahasiswa menjadi langkah penting dalam menyelesaikan masalah ini. Kehadiran pemerintah, termasuk Wakil Presiden, diharapkan dapat memfasilitasi pertemuan dan menciptakan solusi yang adil dan seimbang. Proses ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa hak mahasiswa dalam menyuarakan pendapat dihormati, sementara aturan dan ketertiban kampus tetap terjaga.
Kasus ini juga mendorong diskusi lebih lanjut tentang bagaimana peraturan kampus dapat diimplementasikan tanpa membatasi kebebasan berpendapat. Peraturan yang adil dan transparan dibutuhkan agar mahasiswa tetap merasa aman dalam menyampaikan ide dan kritik. Pendidikan yang mempromosikan keterbukaan dan kemampuan berdialog secara sehat sangat penting untuk menciptakan generasi muda yang kritis dan berani menyuarakan perubahan.
Dengan adanya laporan kepada Wakil Presiden, banyak pihak menantikan bagaimana pemerintah akan merespon dan menyikapi permasalahan ini. Langkah yang diambil akan menjadi cerminan dari komitmen pemerintah dalam mendukung kebebasan berpendapat di lingkungan pendidikan. Diharapkan, solusi yang dihasilkan dapat menjamin hak-hak mahasiswa sekaligus memperbaiki sistem peraturan kampus agar lebih seimbang dan demokratis.