Walknesia.id – Ubi jalar, umbi-umbian yang sering hadir di meja makan Indonesia, ternyata menyimpan potensi besar dalam membantu mengendalikan kadar gula darah. Meski tergolong dalam kelompok karbohidrat, ubi jalar memiliki karakteristik unik yang membuatnya berbeda dari sumber karbohidrat lainnya.
Dr. Anita Wijaya, ahli gizi dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa ubi jalar memiliki indeks glikemik yang relatif rendah, berkisar antara 44 hingga 78, tergantung cara pengolahannya. “Semakin rendah indeks glikemik, semakin lambat peningkatan gula darah setelah mengonsumsinya. Ini sangat menguntungkan bagi penderita diabetes,” jelasnya.
Kandungan serat dalam ubi jalar juga berperan penting dalam mengendalikan gula darah. Dalam 100 gram ubi jalar terkandung sekitar 3 gram serat, yang membantu memperlambat penyerapan glukosa ke dalam aliran darah. “Serat ini juga membuat kita merasa kenyang lebih lama, sehingga membantu mengendalikan porsi makan,” tambah Dr. Anita.
Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Nutrition menunjukkan bahwa ubi jalar mengandung antioksidan bernama anthocyanin, terutama pada varietas ungu. “Anthocyanin terbukti membantu meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga membantu sel-sel tubuh menyerap glukosa lebih efektif,” ujar Prof. Dr. Bambang Sutrisno, peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Cara pengolahan ubi jalar sangat mempengaruhi manfaatnya bagi gula darah. Dikukus atau direbus adalah metode terbaik untuk mempertahankan kandungan nutrisinya. “Hindari menggoreng atau menambahkan gula dalam pengolahannya, karena akan meningkatkan kalori dan indeks glikemiknya,” saran Dr. Anita.
Meski memiliki banyak manfaat, konsumsi ubi jalar tetap harus dalam porsi yang tepat. “Untuk penderita diabetes, disarankan mengonsumsi sekitar 100-150 gram ubi jalar dalam sekali makan. Selalu monitor kadar gula darah dan konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi,” tegas Dr. Anita.
Beta karoten dalam ubi jalar juga berperan dalam mengurangi resistensi insulin. Penelitian di Universitas Tokyo menunjukkan bahwa konsumsi rutin ubi jalar dapat membantu mencegah komplikasi diabetes. “Beta karoten bertindak sebagai antioksidan yang melindungi sel-sel pankreas dari kerusakan,” jelas Prof. Sutrisno.
Selain dikonsumsi langsung, ubi jalar juga bisa diolah menjadi tepung sebagai alternatif tepung terigu. “Tepung ubi jalar memiliki indeks glikemik lebih rendah dibanding tepung terigu, sehingga lebih aman bagi penderita diabetes,” tambah Dr. Anita.
Dr. Surya Dharma, endokrinolog dari RS Premier Jakarta, menekankan pentingnya variasi menu dalam diet diabetes. “Ubi jalar bisa menjadi alternatif karbohidrat yang baik, tetapi tetap harus dikombinasikan dengan protein dan sayuran untuk diet yang seimbang,” sarannya.
Para ahli juga mengingatkan bahwa meski ubi jalar baik untuk gula darah, tidak berarti bisa dikonsumsi tanpa batas. “Semua makanan, termasuk yang sehat sekalipun, harus dikonsumsi dengan bijak dan sesuai kebutuhan tubuh,” tutup Dr. Anita.
Lebih jauh, penelitian terbaru dari American Diabetes Association mengungkapkan bahwa ubi jalar memiliki komponen bioaktif yang disebut caiapo. “Caiapo telah terbukti membantu menurunkan kadar gula darah puasa dan meningkatkan kontrol glikemik pada penderita diabetes tipe 2,” jelas Dr. Ratna Megawati, peneliti diabetes dari Universitas Airlangga.
Bagi yang ingin mengoptimalkan manfaat ubi jalar, waktu konsumsi juga perlu diperhatikan. “Mengonsumsi ubi jalar sebagai bagian dari sarapan atau makan siang lebih dianjurkan dibanding makan malam. Hal ini terkait dengan aktivitas metabolisme tubuh yang lebih tinggi di pagi dan siang hari,” tambah Dr. Surya. Ia juga menyarankan untuk mengkombinasikan ubi jalar dengan protein lean seperti ikan atau ayam tanpa kulit untuk memperlambat penyerapan gula.
Untuk masyarakat yang belum terdiagnosis diabetes namun memiliki riwayat keluarga, konsumsi rutin ubi jalar bisa menjadi langkah preventif. “Kandungan antioksidan dan serat dalam ubi jalar berperan penting dalam mencegah resistensi insulin, yang merupakan awal mula terjadinya diabetes tipe 2,” pungkas Prof. Sutrisno seraya menambahkan bahwa pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan.